Assalamu’alaikum wr.wb
Halooo, apa kabaaaaar?? Insya Allah semua pembaca dalam
keadaan sehat wal’afiat yaa. Maaf nih saya baru nongol lagi setelah berapa lama
ga nongol. Kangen rasanya ini tangan mau nulis lagi, kemarin-kemarin saya sok
menyibukkan diri, hehe. Minta doa dari pembaca ya biar saya selalu dalam
keadaan sehat terus tetap bisa nulis yang insya Allah bisa berguna dan bermanfaat
untuk saya khususnya, pembaca semua pada umumnya.
Bismillah . . .
Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah cerita terlebih
dahulu.
Suatu hari,
satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki, sedang asik
jalan-jalan ke sebuah taman bunga yang sangat cantik untuk berlibur. Ketika di
taman tersebut, mereka duduk-duduk santai sembari menikmati hidangan yang
dibawa dari rumahnya. Saat sedang asik menikmati hidangan tersebut, sang ayah
terdiam dan menghentikan kegiatan menyantap hidangan sambil melihat ke atas
dengan tatapan bingung.
Ayah
tersebut bertanya kepada sang anak, “Nak,
apa itu yang ada di atas sana? Sepertinya cantik sekali bentuknya, namun Ayah
tidak jelas untuk melihatnya Nak”. Sang anak lalu menjawab dengan suara
pelan, “Yang ada di atas sana itu burung
gereja, memang sangat cantik Yah”. Sang Ayah yang mendengar itu sedikit
senang karena sudah tahu apa yang ada di atas sana, Ibu pun hanya duduk santai
memperhatikan kedua orang yang sangat dicintainya itu ercengkrama.
Tak lama
kemudian, sang Ayah bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama, “Nak, hewan apakah itu yang ada di atas
sana?” . Sang anak kembali menjawab dengan suara pelannya, “Itu burung gereja Ayahku yang tampan”. Ayah
pun kembali tersenyum mendengar jawaban anaknya. Tetapi hal itu belum memuaskan
Ayah dan kembali lagi dengan pertanyaan yang sama setelahnya, “Anakku, sungguh cantik nampaknya hewan di
atas sana, hewan apakah itu?” . Dengan nada emosi dan sedikit menghardik,
sang anak menjawab pertanyaan ayahnya dengan suara keras, “AYAH INI DENGAR TIDAK SIH AKU NGOMONG APA, ITU ADALAH BURUNG GEREJA
YANG MEMANG CANTIK!!”. Sang ibu yang mendengar anaknya berbicara seperti
itu kemudian diam tak berkata apa-apa. Begitupun sang ayah yang hanya tersenyum
tanpa berkata apa-apa.
Akhirnya setelah
kejadian itu, sang anak menjadi kesal kemudian mengajak kedua orangtuanya untuk
segera pulang. Orangtuanya pun mengikuti tawaran anaknya untuk segera pulang.
Di perjalanan, keluarga yang awalnya riang gembira ini menjadi diam membisu.
Sesampainya di rumah, sang anak langsung menonton acara televisi, sang ibu
membereskan barang-barang bawaan tadi, sang ayah pergi ke dalam kamar mengambil
sebuah buku yang kemudian diberikan kepada anaknya.
“Wahai anakku, tolong bacakan isi buku
tersebut dengan suara yang keras, bahkan teriak lah di kuping ayahmu ini.
Karena ayah sudah tidak bisa mendengar dengan jelas, takut ada yang salah.
Tolong bacakan sekarang” , pinta sang ayah. Yang terjadi tidaklah seperti
yang diminta oleh ayahnya, namun sebaliknya, sang anak tiba-tiba menangis.
Menangis terisak-isak. Ternyata yang dibaca oleh sang anak adalah buku diari
penulisan sang ayah dan ibu yang ditulis untuk menjelaskan perkembangan sang
anak dari bayi.
Di dalam
buku tersebut tertulis, “Anakku, waktu
kamu berumur belum satu tahun, kamu selalu membangunkan kami di tengah malam
karena tangisanmu. Waktu kamu berumur satu tahun dan mulai belajar berjalan,
ayah dan ibu setia mendampingimu sampai akhirnya kamu bisa berjalan. Dan waktu
kamu berumur dua tahun, kamu selalu bertanya kepada kami, apa itu, apa itu, dan
apa itu tiada henti, dan kami selalu menjawab pertanyaan yang sama
berulang-ulang dengan sabar hingga akhirnya kamu benar-benar paham apa itu
nak”. Sang anak kemudian makin terisak tangisannya, mengingat kejadian yang
terjadi di taman bunga tadi.
Banyak pelajaran dan nilai yang bisa
diambil melalui cerita itu. Kita mungkin tidak akan lahir ke dunia tanpa izin
Allah, dan tentunya melalui perantara yaitu orangtua kita. Tapi kenapa kita
sebagai anak yang sejak lahir, kemudian tumbuh, kemudian dewasa, tidak jarang
yang lupa akan jasa orangtua kita? Sungguh sedih rasanya ketika kita berbuat
seperti cerita di atas yang sepertinya merasa sudah hebat sehingga berani
berbuat seperti itu.
Bayangkan ketika kita selalu bertanya
apa ini apa itu kepada orangtua, mungkin dalam satu menit bisa 10 kali kita
bertanya, dalam satu jam bisa sampai puluhan kali kita bertanya, bahkan dalam
satu hari mungkin bisa sampai ratusan kali kita bertanya hal yang sama kemudian
mereka sebal, capek, lalu kita didiamkan, dibuang karena kesalnya mereka, apakah
kita akan tahu banyak hal tentang pertanyaan kita tadi?
Pernahkah kita berpikir dan
membayangkan jika kita waktu kecil melakukan berbagai hal dan tindakan yang
“sebenarnya” membuat orangtua menjadi kesal dan emosi, kemudian kita didiamkan,
tidak mau mengurus lagi, bahkan sampai dibuang. Pernahkah? Tapi itu semua tidak
dilakukan oleh mereka. Orangtua kita begitu sabarnya merawat kita, menjaga
kita, hingga kita akhirnya tumbuh menjadi dewasa dan bisa hidup mandiri.
Tapi kenapa waktu kita beranjak
dewasa, semua tingkah laku kita begitu sombongnya, begitu angkuhnya, begitu
keras kepalanya kepada kedua orangtua kita? Bahkan ketika orangtua kita mulai
kehilangan giginya kita tertawakan karena ompongnya sehingga menjadi lucu
ketika berbicara, ketika mulai hilang ingatannya kita begitu sebal karena
selalu lupa apa yang kita bicarakan dengannya baru saja? Kenapa? Apakah kita
lupa, bahwa merekalah yang dengan hati penuh keikhlasan merawat, mencintai kita
penuh kasih sayang tanpa pamrih waktu dulu? Bahkan sampai sekarang semua rasa
itu tidak berubah.
Marilah kita merenung, sudah berapa
banyak kesalahan yang kita lakukan kepada kedua orangtua kita. Berapa kali kita
membuat mereka emosi. Berapa kali kita bertingkah seperti anak-anak walaupun
sudah dewasa. Ibu, orang yang melahirkan kita ke bumi . Dari perutnya kita
dikandung selama berbulan-bulan, beratnya badan kita di dalam kandungan tidak
dihiraukannya. Ayah, orang yang setia
mendampingi ibu, orang yang selalu berusaha berlaku sebagai seorang teman,
orang yang selalu bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kita, dengan
ibu kita.
Selagi ayah dan ibu kita masih ada,
sayangi mereka, cintai mereka tanpa pamrih, tanpa meminta apa-apa. Pandangi
wajahnya yang mungkin sudah mulai mengeriput, rambutnya yang mungkin sudah
mulai memutih bahkan menghilang dari kepalanya. Minta maaf kepada mereka atas
semua tingkah laku kita yang sangat menyebalkan dewasa ini, yang mungkin lebih
senang berkumpul bersama teman-teman dibandingkan dengan mereka. Jangan pernah
malu untuk meminta maaf, bahkan jangan pernah malu jika kita harus menangis di
depan mereka karena semua kesalahan kita pada mereka.
Apabila orangtua kita sudah tiada,
doakan mereka. Doakan semoga mendapat ampunan dari Yang Maha Kuasa, dilapangkan
kuburnya, dan selalu berusaha menjadi anak yang soleh. Karena menurut Al-Hadits
dijelaskan bahwa, “Ketika orang sudah
meninggal dunia, hanya 3 yang ditinggalkan amalan yang tetap mengalir: amal
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan juga doa anak-anaknya yang soleh”.
Siapkah kita membuat ibu dan ayah
kita tersenyum?? :) . . . .
0 komentar:
Posting Komentar