Selasa, 22 Maret 2016

Pilihan Sulit


Beberapa hari lalu saya dihadapkan kepada pilihan yang sangat sulit buat saya. Pilihan yang benar-benar saya bingung harus memilih yang mana. Pilihan untuk memutuskan pribadi seperti apakah saya ini, terutama di mata oranglain, terlebih lagi di mata Allah. Pilihan antara memutuskan menepati janji ataukah pilihan untuk membatalkan janji dan memilih sesuatu yang menurut saya diri ini dapat berkembang.

Beberapa hari lalu saya mendapat telepon dari seorang pria yang bekerja di salah satu lembaga dakwah yang dimiliki oleh ustadz favorit saya, bahkan mungkin favorit banyak orang, Ustadz Yusuf Mansur, yang berlokasikan di Kota Semarang.

Saya ditelepon untuk diminta menjadi pembawa acara dalam kegiatan seminar kesehatan yang pembicaranya merupakan orang yang pernah membantu seorang ibu untuk mengeluarkan kawat dari dalam perutnya atas izin Allah, dan pesertanya terdiri dari dokter, bidan, dan masyarakat umum yang diadakan di salah satu lokasi di Semarang yang bisa dibilang dapat menampung ratusan orang banyaknya.

“Wah kesempatan gua nih, ga boleh gua sia-siain. Ini keinginan gua dari dulu, bisa mengisi acara yang mana acaranya bukanlah karena saya atau teman-teman yang membuat, tapi oranglain. Tapi gua udah ada kegiatan dan janji lagi tanggal segitu” , batinku saat itu. Sehingga ketika itu bukan jawaban “iya” yang saya jawab melainkan memohon izin untuk memikirkan terlebih dahulu.

Sungguh pilihan yang berat. Antara menapaki karir yang mungkin terlihat baik ke depannya, ataukan memenuhi komitmen untuk melanjutkan acara yang sudah dipersiapkan dari jauh hari. Pusing tujuh keliling, ingin menangis karena tidak tahu harus memilih yang mana. Jalan apertama yang saya pilih adalah curhat kepada istri tercinta yang memang mengerti saya secara mendalam. Kemudian kepada mentor, setelah itu kepada guru. Berbeda-beda jawaban yang diberikan, makin pusinglah saya ketika itu.

Tapi kemudian saya ingat pada prinsip hidup yang saya pegang, bahwa sejatinya manusia yang baik dan amanah adalah manusia yang dapat memegang komitmennya walaupun itu berat. Tidak tergiur dengan hal yang menarik di depan matanya.

Dengan membaca bismillah, kemudian saya memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut karena saya merasa sudah berkomitmen untuk membantu jalannya acara yang saya dan teman-teman rancang. Saya yang mengetahui bahwa acara yang kami rancang sedang berada dalam kekhawatiran, maka tidak mungkin saya tidak membantunya.

Guru saya mengatakan hal yang membuat saya bisa mengambil keputusan yang cukup berat untuk saya, “akh, bisa jadi apa yang antum dapetin ini sesungguhnya adalah ujian untuk antum. Jangan dikira ujian itu yang ga enak, tapi hal yang enak juga bisa jadi ujian, bahkan mengambil pilihan seperti ini juga bisa dibilang ujian”.

Istri saya pada awalnya merasa sedikit sedih atas pilihan yang saya ambil ini, tapi kemudian dengan diskusi, menjelaskan semuanya dengannya, akhirnya istri saya pun dapat menerimanya dengan ikhlas. Malah memberi saya semangat untuk ikhlas dan bersabar kemudian semangat untuk melanjutkan rancangan kegiatan yang sudah disusun sebelum datangnya tawaran itu.

Mungkin ada yang berpikir bahwa pilihan yang saya ambil merupakan pilihan yang bodoh, pilihan yang salah. Mana mungkin kesempatan bisa datang dua kali. Belum tentu mereka akan menelepon saya kembali untuk menawarkan lagi ajakan tersebut di lain waktu.

Huft . . .

Berat memang. Tapi saya selalu percaya bahwa kesempatan itu bisa datang di lain waktu dengan model yang sama, atau bahkan model berbeda, bahkan lebih menarik lagi. Saya berusaha untuk positive thinking saja. Berat? Sudah pasti. Apalagi perjuangan yang saya mulai untuk mencoba merintis apa yang saya cintai ini cukup sulit. Allah tidak tidur. Allah akan memberi yang terbaik pada makhluknya. Bisa jadi apa yang saya ambil ini merupakan sesuatu yang terbaik menurut Allah, walaupun tidak menurut oranglain.

Sahabat, komitmen itu jauh lebih penting dibanding apapun. Komitmen adalah janji kita pada Allah. Bukan hanya pada sesama. Janji adalah hutang uang harus ditepati. Lebih baik kehilangan kesempatan disbanding kehilangan persahabatan, apalagi persahabatan yang mengingatkan kita melakukan kebaikan-kebaikan.

Miris rasanya ketika melihat yang terjadi sekarang-sekarang ini. Begitu banyak janji yang diumbar, orang percaya. Tapi pada kenyataannya tidak dijalankan. Padahal hutang adalah sesuatu yang akan ditagih di akhirat kelak.

Saya pernah mendengar ceramah Jum’at ketika masih bersekolah dulu, “kalo naik angkot ya harus bayar, punya utang ya bayar, jangan karena ga diminta jadi ga dibayar. Kalau sampai kita meninggal itu ga sempet dibayar, nanti di akhirat ditagih. Gimana kalau yang kita utangin ga ikhlas? Dosa, bisa lama masuk surganya” . Wallahualam. Jadi ngeri diri ini, hiks hiks.

Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang ketika sudah berkomitmen, kemudian dapat memegang teguh janji komitmennya tersebut ya sahabat. Huehehe.


#KamiBahagia

0 komentar:

Posting Komentar