Beberapa hari lalu saya dihadapkan kepada pilihan
yang sangat sulit buat saya. Pilihan yang benar-benar saya bingung harus
memilih yang mana. Pilihan untuk memutuskan pribadi seperti apakah saya ini,
terutama di mata oranglain, terlebih lagi di mata Allah. Pilihan antara
memutuskan menepati janji ataukah pilihan untuk membatalkan janji dan memilih
sesuatu yang menurut saya diri ini dapat berkembang.
Beberapa hari lalu saya mendapat telepon dari seorang
pria yang bekerja di salah satu lembaga dakwah yang dimiliki oleh ustadz
favorit saya, bahkan mungkin favorit banyak orang, Ustadz Yusuf Mansur, yang
berlokasikan di Kota Semarang.
Saya ditelepon untuk diminta menjadi pembawa acara
dalam kegiatan seminar kesehatan yang pembicaranya merupakan orang yang pernah
membantu seorang ibu untuk mengeluarkan kawat dari dalam perutnya atas izin
Allah, dan pesertanya terdiri dari dokter, bidan, dan masyarakat umum yang
diadakan di salah satu lokasi di Semarang yang bisa dibilang dapat menampung
ratusan orang banyaknya.
“Wah kesempatan
gua nih, ga boleh gua sia-siain. Ini keinginan gua dari dulu, bisa mengisi
acara yang mana acaranya bukanlah karena saya atau teman-teman yang membuat,
tapi oranglain. Tapi gua udah ada kegiatan dan janji lagi tanggal segitu” , batinku
saat itu. Sehingga ketika itu bukan jawaban “iya” yang saya jawab melainkan
memohon izin untuk memikirkan terlebih dahulu.
Sungguh pilihan yang berat. Antara menapaki karir
yang mungkin terlihat baik ke depannya, ataukan memenuhi komitmen untuk
melanjutkan acara yang sudah dipersiapkan dari jauh hari. Pusing tujuh
keliling, ingin menangis karena tidak tahu harus memilih yang mana. Jalan
apertama yang saya pilih adalah curhat kepada istri tercinta yang memang
mengerti saya secara mendalam. Kemudian kepada mentor, setelah itu kepada guru.
Berbeda-beda jawaban yang diberikan, makin pusinglah saya ketika itu.
Tapi kemudian saya ingat pada prinsip hidup yang saya
pegang, bahwa sejatinya manusia yang baik dan amanah adalah manusia yang dapat
memegang komitmennya walaupun itu berat. Tidak tergiur dengan hal yang menarik
di depan matanya.
Dengan membaca bismillah, kemudian saya memutuskan
untuk tidak menerima tawaran tersebut karena saya merasa sudah berkomitmen
untuk membantu jalannya acara yang saya dan teman-teman rancang. Saya yang
mengetahui bahwa acara yang kami rancang sedang berada dalam kekhawatiran, maka
tidak mungkin saya tidak membantunya.
Guru saya mengatakan hal yang membuat saya bisa
mengambil keputusan yang cukup berat untuk saya, “akh, bisa jadi apa yang antum dapetin ini sesungguhnya adalah ujian
untuk antum. Jangan dikira ujian itu yang ga enak, tapi hal yang enak juga bisa
jadi ujian, bahkan mengambil pilihan seperti ini juga bisa dibilang ujian”.
Istri saya pada awalnya merasa sedikit sedih atas pilihan
yang saya ambil ini, tapi kemudian dengan diskusi, menjelaskan semuanya
dengannya, akhirnya istri saya pun dapat menerimanya dengan ikhlas. Malah
memberi saya semangat untuk ikhlas dan bersabar kemudian semangat untuk
melanjutkan rancangan kegiatan yang sudah disusun sebelum datangnya tawaran
itu.
Mungkin ada yang berpikir bahwa pilihan yang saya
ambil merupakan pilihan yang bodoh, pilihan yang salah. Mana mungkin kesempatan
bisa datang dua kali. Belum tentu mereka akan menelepon saya kembali untuk menawarkan
lagi ajakan tersebut di lain waktu.
Huft . . .
Berat memang. Tapi saya selalu percaya bahwa
kesempatan itu bisa datang di lain waktu dengan model yang sama, atau bahkan
model berbeda, bahkan lebih menarik lagi. Saya berusaha untuk positive thinking saja. Berat? Sudah
pasti. Apalagi perjuangan yang saya mulai untuk mencoba merintis apa yang saya
cintai ini cukup sulit. Allah tidak tidur. Allah akan memberi yang terbaik pada
makhluknya. Bisa jadi apa yang saya ambil ini merupakan sesuatu yang terbaik
menurut Allah, walaupun tidak menurut oranglain.
Sahabat, komitmen itu jauh lebih penting dibanding
apapun. Komitmen adalah janji kita pada Allah. Bukan hanya pada sesama. Janji
adalah hutang uang harus ditepati. Lebih baik kehilangan kesempatan disbanding
kehilangan persahabatan, apalagi persahabatan yang mengingatkan kita melakukan
kebaikan-kebaikan.
Miris rasanya ketika melihat yang terjadi
sekarang-sekarang ini. Begitu banyak janji yang diumbar, orang percaya. Tapi
pada kenyataannya tidak dijalankan. Padahal hutang adalah sesuatu yang akan
ditagih di akhirat kelak.
Saya pernah mendengar ceramah Jum’at ketika masih
bersekolah dulu, “kalo naik angkot ya
harus bayar, punya utang ya bayar, jangan karena ga diminta jadi ga dibayar. Kalau
sampai kita meninggal itu ga sempet dibayar, nanti di akhirat ditagih. Gimana
kalau yang kita utangin ga ikhlas? Dosa, bisa lama masuk surganya” . Wallahualam. Jadi ngeri diri ini, hiks hiks.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang
yang ketika sudah berkomitmen, kemudian dapat memegang teguh janji komitmennya
tersebut ya sahabat. Huehehe.
#KamiBahagia
0 komentar:
Posting Komentar